SEJARAH CIJATI
Untuk mengetahui asal-usul Desa
Cijati, sangat erat kaitannya dengan kehadiran Embah Haji Siti Fatimah yang
menjadi nenek moyang penduduk desa ini. Kehadiran beliau di suatu tempat yang
sekarang bernama Desa Cijati, menurut cerita orang-orang tua, kira-kira pada
tahun 1690-an (Abad Ke-XVII). Beliau adalah berasal dari Demak keturunan
kasepuhan dari Raden Fatah Sultan Demak. Untuk lebih jelasnya tercatat silsilah
beliau sebagai berikut : (10) Siti Fatimah adalah putri (9) Nyi Langgeng Lanyi,
putri (8) Pangeran Marta Singa, putra (8) Kiai Nanya Kerti, putra (4) Pangeran
Waragil, putra (3) Sunan Prawoto, putra (2) Pangeran Trenggono, putra (Sultan
Abdul Fatah (Raden Fatah) Sultan Demak.
I. Sebab musabab kehadiran Embah Haji Siti Fatimah
di tempat ini ada dua variasi cerita orang tua :
Beliau mengikuti suaminya yang
bernama Embah Abdul Kodir putra Embah Abdul Muhyi Pamijahan Tasikmalaya. Mereka
membuka pesantren dalam rangka menyebarkan ajaran agama Islam di suatu tempat
di pinggir kali Cideres yang diberi nama Cijati.
Beliau berangkat dari lingkungan
keraton di Demak, untuk mencari obat guna menyembuhkan penyakit kulit yang telah
lama di deritanya. Penyakit itu sangat berat, belum ada seorang tabib pun yang
dapat mengobatinya. Karena sudah sangat merasa kesal menderita penyakit itu,
beliau bertafakur di kamarnya untuk memohon petunjuk kepada Tuhan tentang obat
yang akan dapat menyembuhkan penyakitnya. Setelah beberapa lama tafakur itu
dilaksanakan konon pada malam keempat puluh kebetulan malam jum'at, beliau
mendapat ilapat berupa suara tanpa rupa yang menyuruh beliau agar keluar dari
rumah. Di luar beliau melihat cahaya yang memancar ke langit di arah sebelah
barat. Suara tanpa rupa itu menyuruh Fatimah agar mengikuti cahaya itu. Dan
apabila beliau sampai di suatu tempat dan cahaya itu menghilang, di tempat
itulah akan ditemukan obat penyembuh penyakitnya itu. Maka diikutinyalah
petunjuk gaib itu. Ketika beliau sampai di suatu tempat di pinggir sebuah kali,
hilanglah cahaya itu. Dan berhentilah Fatimah di tempat itu sesuai dengan
petunjuk suara gaib dari bawah pohon-pohon jati yang besar-besar. Pada saat itu
tempat tersebut masih merupakan hutan lebat. Beliau tertarik oleh air yang
jernih dan saat itu ingin mandi untuk membersihkan diri badannya dan berwudhu.
Betapa beliau tercengang ketika selesai mandi penyakitnya jadi sembuh dan
kulitnya menjadi bersih. Air yang mujarab dan keluar dari pohon jati itu
dinamainya Cai Jati (Cijati), yang kemudian menjadi nama kampung dan desa ini
sampai sekarang. Adapun sumur yang berkhasiat itu dinamainya sumur Cikalamayan.
Sampai sekarang sumur itu masih dianggap keramat.
II. Perkembangan tempat yang bernama Cijati menjadi
Desa Cijati
Setelah Fatimah sembuh dari
penyakitnya yang sangat menjengkelkan itu dan mengasingkan dirinya dari
keramaian keraton, berkat khasiat cai jati dari sumur Cikalamayan itu, beliau
berniat membenci kehidupan keraton yang penuh kemewahan tetapi mengekang dan
membosankan. Itulah sebabnya beliau tidak senang mendengar bunyi gamelan yang
biasa dibunyikan untuk menyemarakkan suasana keraton, dan melarang anak-cucunya
membunyikannya. Siapa yang berani melanggarnya akan menanggung akibatnya.
Pada suatu hari singgahlah di
pondok Fatimah seorang pemuda yang sedang berkelana berasal dari daerah
Tasikmalaya yang bernama Abdul Kodir putra Embah Abdul Muhyi Pamijahan. Melihat
keelokan rupa Fatimah, tertariklah hati Abdul Kodir kepadanya. Demikian pula
Fatimah terhadap pemuda yang bernama Abdul Kodir.
Terungkap sebuah cerita menarik
dalam kisah perkenalan Abdul Kodir dengan Fatimah. Untuk saling menjajagi
ketinggian ilmu diantara mereka, Abdul Kodir meminta bara api kepada Fatimah
untuk mengisap rokoknya. Disodorkanlah oleh Fatimah bara api itu kepada Abdul
Kodir. Bara api itu di letakkan pada selendangnya, namun selendang tersebut
tidak terbakar. Melihat kejadian itu tercenganglah Abdul kodir, dan diapun jadi
tahu bahwa Fatimah itu adalah seorang gadis yang tinggi ilmunya. Kemudian Abdul
Kodir pun segera mengambil bara api itu dari selendang gadis itu dengan
tangannya sendiri.Tampak Abdul Kodir tidak merasa panas sedikitpun dan
tangannyatidakterluka kena bara api itu. Dengan demikian tahulah
Fatimahbahwapemuda itu memiliki kesaktian dan ilmu yang tinggi.
Setelahsalingmengetahui kesaktian diantara mereka, terjalinlah rasa saling
mencintai diantara mereka. Dan akhirnya atas kesepakatan mereka dan kesepakatan
orang tua kedua belah pihak, mereka menikah untuk membangun rumah tangga yang
tentram.
Setelah melangsungkan pernikahan,
mereka mendirikan sebuah pesantren yang santri-santrinya berdatangan dari
mana-mana. Dari pernikahan itu mereka dikaruniai dua orang puteri, yaitu :
1. Nyi Soiman, dipanggil demikian karena ditikah
oleh seorang yang bersama Soiman putera Embah Salamudin dari Babakan Jawa.
2. Nyi Da'i
Dari Nyi Soiman itulah Embah Haji
Siti Fatimah menurunkan anak cucunya yang menjadi inti penduduk Desa Cijati dan
menjadi penerus perjuangannya dalam menyebarkan agama Islam melalui pendidikan
Pondok Pesantren sampai sekarang. Kesinambungan pesantren di Desa Cijati adalah
berkat kesinambungan para pengasuhnya (para Kiayinya). Setelah Embah Abdul
Kodir wafat di Tasikmalaya dan di makamkan di Desa Sukapancar kabupaten
Tasikmalaya, pimpinan pondok pesatren diteruskan oleh menantunya yang bernama
Kyai Soiman. Kemudian dilanjutkan oleh menantu Kiayi Soiman yang bernama Kyai
Nurhisyam suami Nyi Ajid salah seorang puteri kyai Soiman. Beliau dari Situraja
Sumedang datang ke Cijati untuk menuntut ilmu agama (mesantren) di Kyai Soiman
yang kemudian dipungut menjadi menantunya. Setelah Embah Burhisyam wafat,
pimpinan pesantren dilanjutkan oleh putranya yang bernama Kyai Irfa'i.
Selanjutnya pengasuh pesantren disambung oleh Kyai Abdullah putera Kyai Irfa'i.
Kyai Abdulloh wafat, pimpinan pesantren dilanjutkan oleh K.H. Muhammad Alwi
suami Ibu Siti Hafsoh puteri Kyai Abdullah. Selanjutnya puteranya diasuh oleh
putera K.H. Muhammad Alwi satu-satunya yang bernama K.H. Mahfudz. Kini pondok
pesantren di Desa Cijati di kelola dengan baik dan sampai sekarang terkenal
dengan sebagai desa santri (Pesantren).
Demikianlah perkembangan Cijati
yang asalnya merupakan hutan lebat menjadi sebuah kampung dan kemudian menjadi
sebuah desa yang kini berpenduduk sebanyak 5.000 jiwa. Cijati mulai ditetapkan
menjadi desa pada zaman penjajahan Belanda, tepatnya pada tahun 1820 M. Kuwunya
yang pertama bernama Embah Ngabeui Tirta Saestu.
III. Perkembangan Kehidupan Rakyat
Mengenai perkembangan kehidupan
rakyat desa Cijati dari masa ke masa tidak terdapat penonjolan-penonjolan yang
menyolok tetapi tidak pula terlalu ketinggalan oleh desa-desa lain.
A. Perkembangan Bidang Ekonomi
Mula-mula rakyat Cijati hidup
dari pertanian. Setelah penduduknya makinberkembang, sedangkan tanah lahan
pertanian relatif tidak bertambah, mulailah mereka mencari mata pencaharian
lain seperti bidang kerajinan, mencelup pakaian dengan nila yang dibuat dari
pohon tarum pada zaman penjajahn Belanda dan Jepang. Waktu itu pakaian adat
dibuat sendiri yang dibuat dari sekat kapas yang juga ditanam sendiri. Bekerja
sebagai penjahit pakaian, kadang-kadang langsung menjualnya ke pasar. Para
pengusaha penjahit jadi sampai sekarang terus berkembang. Sayang para penjahit
pakaian sekarang hampir punah karena harga pakaian jadi di pasaran lebih murah
daripada buatan sendiri. Sekarang sudah banyak pula yang menyelenggarakan
industri kecil di rumah-rumah seperti membuat kecap, tahu, rajinan dan
lain-lain.
B. Perkembangan Bidang Sosial
Dalam bidang sosial sejak dulu
sudah terbina dengan baik, terutama dalam hal kegotong royongan, baik dalam
peristiwa kematian, hajatan maupun membangun rumah. Tolong menolong antar
sesama sangat rampak dengan tumbuhnya kelompok arisan, perkumpulan-kumpulan di
tiap blok yang menyediakan alat keperluan untuk hajatan seperti piring, sendok,
gelas, alat memasak, kursi, belandongan dan lain-lain.
C. Perkembangan Bidang Kebudayaan dan Bidang
Pendidikan
Mengenai kemajuan bidang
pendidikan agama sudah tidak diragukan lagi, karena berdirinya desa Cijati
berpangkal dari berdirinya pondok pesantren yang merupakan lembaga pendidikan
Islam dan terus berkesinambungan sampai sekarang. Pelajaran Agama disampaikan
hampir di tiap langgar (tajug). Kini semakin berkembang lagi dengan telah
berdirinya Madrasah Diniyah Awaliyah sejak sejak tahun 1964, disusul dengan
berdirinya Yayasan Darul Falah pada tahun 1983 dan sekarang telah didirikan
pula Madrasah Aliyah pada tahun 1987.
Dalam bidang pendidikan umum
telah berdiri sekolah dasar 3 tahun sejak tahun 1913. sekarang telah berdiri
tiga buah sekolah dasar Negeri 3 tahun yang dapat menampung semua anak usia
sekolah. Pendidikan umum tingkat menegah pertama pun sudah ada, yaitu SLTPN 4
Majalengka dekat kampung Cijati. Begitu juga pendidikan umum tingkat atas telah
berdiri yaitu SMU PGRI 1 Majalengka di Cijati.
Bidang Kesenian
Dalam bidang kesenian sejak dulu di desa Cijati
belum ada yang menonjol, yang terkenal ke luar daerah.
Olahraga yang paling disenangi masyarakat adalah
sepak bola.
Olahraga lain yang disenangi masyarakat adalah Volly
ball, hampir di setiap blok ada lapangan Volly ball beserta klubnya.
Olahraga yang paling disenangi masyarakat adalah
sepak bola.
Olahraga lain yang disenangi masyarakat adalah Volly
ball, hampir di setiap blok ada lapangan Volly ball beserta klubnya
IV. Pantangan atau Tabu
Ada dua hal yang dianggap tabu
(pantangan) yang masih di pegang teguh oleh sebagian besar penduduk Desa
Cijati.
Kesenian menggunakan alat-alat
gamelan
Kesenian yang menggunakan
alat-alat gamelan seperti wayang baik wayang kulit maupun wayang golek yang
lengkap dengan nayaganya. Fatimah apabila mendengar suara gamelan hatinya
merasa risih pedih serasa tersayat sembilu. Karena itulah beliau melarang anak
cucunya menyelenggarakan hiburan yang menggunakan gamelan secara lengkap.
Barang siapa yang berani melanggarnya dia harus menganggung akibatnya.
Memiliki atau memelihara kuda
yang berbulu hitam
Asal-usul penduduk Cijati
dilarang memiliki atau memilihara kuda berwarna hitam adalah sebagai berikut :
konon kabarnya Embah Haji Siti Fatimah itu ketika mudanya memiliki rambut yang
panjang, bila terurai akan sampai ke tanah. Bila beliau menyisir rambutnya
setelah keramas, harus menggunakan gelah sebagai penyangganya agar tidak
terurai ke tanah.
Pada suatu hari ketika Embah Haji
Siti Fatimah sedang menyisir rambutnya, tiba-tiba kuda peliharaannya yang
berwarna hitam keluar dari kandangnya dan berlari-lari kesana-kemari, hingga
menabrak galah penahan rambutnya tersebut, sehingga rambutnya menjadi kusut
sukar dibereskan lagi. Karena marahnya keluarlah ucapan sumpah dari mulutnya
yang berbunyi:
"Sumpah tujuh turunan kepada
anak cucu janganlah memelihara kuda yang berwarna hitam".
Dua macam tebu diatas masih di
pegang teguh oleh sebagian besar orang Cijati terutama keturunan Embah Haji.
Yang berani melanggarnya biasanya ada saja yang berakibat kurang baik. Apakah
hal itu menunjukkan bahwa tebu itu memang masih benar-benar angker ataukah
hanya karena sugenti psykologis belaka? Wallahu a'lam, hanya Allah Yang Maha
Mengetahui.***
Sumber : https://www.abchannel.id/ragam/pr-1753680359/sasakala-kelurahan-cijati-majalengka?