Profil
Cijati yang sekarang menjadi sebuah kelurahan ikut mewarnai Kota Majalengka sebagai ibukota kabupaten dengan adat istiadatnya, sekaligus sebagai daerah penyangga ibukota kabupaten.
Bidang Pemerintahan
Penduduk Cijati 4.600, luas wilayah 224.493 yang tersebar di 5 lingkungan (Dahlia, Melati, Raharja, Pusaka Indah, dan Sukajaya) dan 10 RW 26 RT.
Bidang Sosial Ekonomi
Masyarakat Cijati sangat terkenal dengan gotong royongnya hajatan, kematian, dan membangun rumah, terbukti lagi dengan pembangunan fisik berbasis swadaya terlaksana sukses, ini terbukti kepedulian masyarakat Cijati sangat peduli terhadap lingkungan.
Mata pencaharian masyarakat Cijati beragam dari bertani, buruh, dagang, PNS, wiraswasta, industri rumah tangga. Bahkan industri rumah tangga yang sudah menembus pasar nasional.
- Produksi makanan kreasi “Produk Ibu Popon”
- Produksi Suttle Cock “Hade” Bapak Dayat
Bidang Pendidikan
Kemajuan bidang pendidikan, khususnya pendidikan agama Islam sangat pesat,kita maklumi bahwa Cijati tumbuh yang berpangkal dari berdirinya pondok pesantren yang terus berkesinambungan sampai sekarang, di antaranya telah berdiri :
- Madrasah Diniyah Awaliyah sejak tahun 1964
- Yayasan Darul Falah sejak tahun 1983 yang bergerak dalam bidang agama Islam, dengan :
- Berdirinya Madrasah Tsanawiyah tahun 1983.
- Berdirinya Madrasah Aliyah tahun 1983.
- Madrasah Assura Lingkungan Pusaka Indah tahun 2006.
- Sekarang (2006) telah dibangun dan berfungsinya Madrasah Diniyah “Sucimanah” di Lingkungan Sukajaya yang bisa menampung 200 santri.
- Ponpes Darul Hikmah Komplek Makam Embah Hj. Siti Fatimah tahun 1996.
Dalam pendidikan umum Kelurahan Cijati menyediakan fasilitas lengkap dari SDN, SLTP dan SLTA.
Kuwu / Lurah dari Masa ke Masa
Perkembangan Cijati yang asalnya merupakan hutan lebat menjadi sebuah kampung dan kemudian menjadi sebuah desa dan sekarang menjadi sebuah kelurahan yang sangat ramai dengan jumlah penduduknya hampir 5.000 jiwa.
Cijati mulai ditetapkan menjadi desa pada zaman penjajahan Belanda, tepatnya pada tahun 1820 M, Kuwunya yang pertama bernama Embah Ngabdui Tirta Saestu dan ditetapkan menjadi sebuah kelurahan pada tahun 2000 dengan Lurahnya Taufik Budiawan, S.Sos.
Nama kuwu-kuwu dan Lurah Cijati sejak berdiri sampai sekarang :
No Nama Kuwu / Lurah Memerintah Tahun
1. Embah Ngabdui Tirta Saestu 1820 - 1850
2. Kuwu Walim 1850 - 1875
3. Kuwu Jayi 1875 - 1890
4. Kuwu Wangsa 1890 - 1897
5. Kuwu Haji Ma’rug 1897 - 1912
6. Kuwu K.H. Jarkasih 1912 - 1935
7. Kuwu Ismail 1935 - 1948
8. Kuwu Muhyi 1948 - 1949
9. Kuwu Emed Suharja 1949 - 1950
10. Kuwu Sabun Bunyamin 1950 - 1954
11. Kuwu A. Sudja’i 1954 - 1964
12. Kuwu Bayi Al-Iyi 1964 - 1980
13. Kuwu Abhari 1980 - 1987
14. Kuwu Semod 1989 - 2000
15. Lurah Taufik Budiawan, S.Sos. 2000 - 2005
16. Lurah Drs. Uwo Djuhro 2005 - sekarang
Asal-Usul Desa Cijati
Nama Desa Cijati sangat erat kaitannya dengan kehadiran Embah Hj. Siti Fatimah yang menjadi nenek moyang penduduk desa ini.
Kira-kira tahun 1690 (abad ke XVII) kehadiran di tempat yang sekarang Desa/Kelurahan Cijati Embah Hj. Siti Fatimah yang berasal dari Demak keturunan kesepuluh dari Raden Fatah Sultan Demak. Untuk jelasnya tercatat silsilah beliau sebagai berikut : (10) Siti Fatimah adalah putri, (9) Nyi Langgeng Lanyi, Putri (8) Pangeran Marta Singa, putra (8) Kiai Naya Kerti, putra (7) Adipati Pasir, putra (6) Kiai Jaya Dikrama, putra (5) Pangeran Brengos, putra (4) Pangeran Waragil, putra (3) Sunan Prawoto, putra (2) Pangeran Trenggono, putra (1) Sultan Abdul Fatah (Raden Fatah) Sultan Demak.
Ada dua persi kehadiran Embah Siti Fatimah datang ke tempat Cijati sekarang namanya :
- Persi pertama : Beliau mengikuti suaminya yang bernama Embah Abdul Kodir Putra Embah Abdul Muhyi (Pamijahan Tasikmalaya). Mereka membuka pesantren dalam rangka penyebaran Agama Islam di suatu tempat di pinggir kali Cideres yang diberi nama Cijati.
- Persi kedua : Beliau berangkat dari keraton Demak untuk mencari obat guna menyembuhkan penyakit kulit yang telah lama dideritanya. Konon setelah beberapa lama tafakur dilaksanakannya, Beliau mendapat ilapat, berupa petunjuk suara tanpa rupa itu menyuruh Fatimah untuk mengikuti arah cahaya tersebut, maka diikutinyalah petunjuk gaib itu. Dan berhentilah Fatimah di tempat di mana cahaya itu berada, di pinggir sebuah kali dan hilanglah cahaya tersebut. Tiba-tiba dilihatnya sebuah sumur (sumber air) yang keluar dari bawah pepohonan Jati yang besar yang pada waktu itu masih hutan lebat. Beliau tertarik oleh air yang jernih, untuk mandi dan mengambil wudlu. Betapa beliau tercengang ketika selesai mandi penyakitnya jadi sembuh dan kulitnya menjadi bersih. Air mujarab keluar dari pohon jati itu namanya Cai Jati (Cijati), yang kemudian menjadi kampung dan desa ini sampai sekarang. Adapun sumur yang berkhasiat itu dinamai sumur Cikalamayan. Sumur itu yang terletak di tebing pinggir kali Cideres lebih kurang 150 meter jauhnya di sebelah barat makan Beliau sekarang. Sampai sekarang sumur itu masih dianggap keramat.
Perkembangan Cijati Menjadi Sebuah Pemerintahan
Setelah Fatimah sembuh dari penyakitnya itu dan mengasingkan dirinya dari keramaian keraton, berkat khasiat cai jati dari sumur Cikalamayan, beliau berniat menetap di tempat itu untuk selama-lamanya, tidak akan kembali ke istana, bahkan konon Beliau benci kehidupan keraton yang penuh kemewahan tapi mengekang dan membosankan. Itulah sebabnya beliau tidak senang mendengar bunyi gamelan yang biasa dibunyikan untuk menyemarakan suasana keraton dan melarang anak cucunya membunyikannya. Siapa yang berani melanggarnya akan menanggung akibatnya.
Pada suatu hari, singgahlah di pondok Fatimah seorang pemuda yang sedang berkelana berasal dari Tasikmalaya bernama Abdul Kodir putra Embah Abdul Muhyi Pamijahan. Melihat keelokan rupa Fatimah, tertarik hati Abdul Kodir kepadanya. Demikian pula Fatimah terhadap pemuda yang bernama Abdul Kodir.
Dan akhirnya atas kesepakatan mereka serta orang tua kedua belah pihak, mereka menikah untuk membangun rumah tangga yang tentram.
Setelah melangsungkan pernikahan, mereka mendirikan sebuah pesantren yang santri-santrinya berdatangan dari mana-mana. Dari pernikahan itu mereka dikaruniai 2 (dua) orang puteri, yaitu :
1. Nyi Soiman dipangil demikian karena ditikah oleh seorang yang bernama Soimah putera Embah Salamodin dari Babakanjawa.
2. Nyi Da’i.
Dari Nyi Soiman itulah Embah Haji Siti Fatimah menurunkan anak cucu yang menjadi inti penduduk Desa Cijati akan menjadi penerus perjuangannya dalam menyebarkan agama Islam melalui pendidikan pondok pesantren sampai sekarang.
Kesinambungan pesantren di Desa Cijati adalah berkat kesinambungan para pengasuh (para kiyainya). Setelah Embah Abdul Kodir wafat di Tasikmalaya dan dimakamkan di Desa Sukapancar Kabupaten Tasikmalaya (yang namanya diabadikan jalan utama di Kelurahan Cijati). Pimpinan pesantren diteruskan oleh menantunya Kiyai Soiman yang bernama Puteri Kiyai Soiman. Kiyai Embah Nurhisyam, yang berasal dari Situraja Sumedang yang dulunya ingin menuntut ilmu agama (masantren) wafat. Pimpinan pesantren dilanjutkan oleh putranya yang bernama Kiyai Irfa’i. Selanjutnya pengasuh pesantren disambung oleh Kiyai Abdullah putra Kiyai Irfa’i. Kiyai Abdullah wafat. Pimpinan pesantren dilanjutkan oleh KH. Muhammad Alwi satu-satunya yang bernama KH. Mahfudz. Kini Pondok Pesantren di Kelurahan Cijati dikelola oleh para putra Kiyai H. Mahfudz. Itulah sebabnya Kelurahan Cijati sampai sekarang terkenal sebagai daerah santri (Pesantren).
Sumber : Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat dan Semua Pihak atas partisipasinya dalam penyelesaian Leafet ini terlebih kepada Bapak Didi Muhdi Alm., yang telah menerbitkan diktat tentang asal-usul Cijati.