SAMBUTAN DARI BAPAK LILI RAMLI

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Inilah Website Resmi Bapak Lili Ramli sebagai wadah untuk menularkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, khususnya Materi Bahasa Indonesia, TIK, dan Materi Umum Lainnya.
Mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

MAKALAH PENGERTIAN, HAKIKAT ETIKA PENDIDIK DAN ETIKA ILMUWAN

A. PENGERTIAN PENDIDIK DAN ILMUWAN
Adapun yang dimaksud dengan pendidik ialah tiap orang yang dengan sengaja mempengaruhi orang lain untuk mencapai kedewasaan. Dapat kita sebutkan di sini menjadi dua tingkatan, yaitu :
1. Orang tua
Orang tua termasuk pendidik yang utama. Karena dengan kesadaran yang mendalam serta disadari rasa cinta dan kasih sayang yang mendalam, orang tua mengasuh atau mendidik anaknya dengan penuh tanggung jawab dan kesabaran. Lagi pula sebagian besar waktu anak-anak adalah bersama-sama dengan orang tuanya.
2. Orang dewasa yang lain yang bertanggung jawab kepada kedewasaan anak.
Misalnya guru-guru dan wakil-wakil dari orang tua yang diserahi mengasuh anak-anak tersebut. Pendidik ini masuk pada nomor dua meskipun tidak kurang penting peranannya daripada orang tua.
Pendidik-pendidik ini juga mengasuh anak-anak didiknya dengan penuh tanggung jawab. Tetapi waktu mereka berkumpul dengan anak-anak didik sangat terbatas. Sehingga hal ini menjadi kurang dekatnya pendidik dengan anak didik.
Meskipun demikian dari fihak sekolah selalu berusaha untuk mendekatkan diri dengan anak-anak didik dengan harapan pendidikannya dapat berhasil dengan sebaik-baiknya.
Mendidik adalah suatu tugas yang luhur dan mulia, baik ditinjau dari dari sudut masyarakat dan negara maupun ditinjau dari sudut keagamaan. Guru sebagai pendidik adalah seorang yang berjasa besar terhadap masyarakat dan negara. Tinggi rendahnya kebudayaan suatu masyarakat, dan maju mundurnya tingkat kebudayaan suatu masyarakat dan negara, sebagian besar bergantung kepada pendidikan yang diberikan oleh pendidik.
Selanjutnya yang dimaksud dengan ilmuwan adalah orang yang ahli atau mempunyai banyak pengetahuan mengenai suatu ilmu tertentu. Biasanya kalau orang Islam berbicara tentang ilmu, maka yang dimaksud dengannya adalah ilmu-ilmu agama, akan tetapi mereka juga menggolongkan ke dalamnya ilmu-ilmu lain yang bukan ilmu agama. Mengajar ilmu itu merupakan tempat yang tertinggi sesudah tingkat para nabi.

B. HAKIKAT ETIKA PENDIDIK DAN ETIKA ILMUWAN
Pendidik adalah orang yang berjasa besar terhadap masyarakat dan negara. Oleh karena itu, pendidik khususnya guru di sekolah hendaklah berusaha menjalankan tugas kewajiban sebaik-baiknya sehingga dengan demikian masyarakat menginsafi sungguh-sungguh betapa berat dan mulianya pekerjaan guru.
Penghargaan masyarakat terhadap guru haruslah timbul karena perbuatan guru itu sendiri. Salah satu syarat yang harus dimiliki oleh pendidik atau guru ialah harus berkelakuan baik. Jika kita mengatakan berkelakuan baik, maka di dalamnya terkandung segala sikap, watak, dan sifat-sifat yang baik.
Untuk lebih jelasnya mengenai etika pendidik atau sikap dan sifat-sifat baik yang harus ada pada pendidik atau guru akan diuraikan sebagai berikut :
1. Adil
Yang dimaksud adil di sini yaitu yang dapat dilakukan oleh manusia, bukan keadilan Tuhan Yang Maha Esa.
Seorang pendidik atau guru harus adil, misalnya dalam memperlakukan anak-anak didiknya yaitu harus dengan cara yang sama. Ia tidak membedakan anak yang cantik, anak saudaranya sendiri, anak orang berpangkat, atau anak yang menjadi kesayangannya. Perlakuan yang adil itu perlu bagi guru, misalnya juga dalam memberi nilai.
2. Sabar dan rela berkorban
Hampir pada setiap pekerjaan, kesabaran merupakan syarat yang sangat diperlukan, apalagi pekerjaan guru sebagai pendidik. Sifat sabar perlu dimiliki oleh guru, baik dalam melakukan tugas mendidik maupun dalam menanti hasil dari jerih payahnya. Hasil pekerjaan tiap-tiap guru dalam mendidik seorang anak tidak dapat ditunjukkan dan tidak dapat dilihat dengan seketika. Pekerjaan mendidik tidak dapat disamakan dengan membuat roti atau membuat rumah, yang hasilnya dapat dilihat beberapa jam atau beberapa bulan kemudian. Banyak usaha guru dalam mendidik anak-anak didik yang belum dapat kelihatan hasilnya sampai anak didik itu keluar sekolah. Banyak pula usaha atau jerih payah guru yang baru dapat dipetik buahnya setelah anak didik itu menjadi orang dewasa, setelah ia berdiri sendiri dalam masyarakat. Semua itu memerlukan kesabaran dan kerelaan berkorban dari guru. Sifat sabar dan rela berkorban itu ada pada seorang pendidik jika pendidik itu mempunyai rasa cinta terhadap anak didiknya. Tidak berlebihan rupanya apa yang dikatakan Jan Lighthart bahwa pendidikan itu harus berdasarkan cinta, sabar, dan bijaksana.
3. Memiliki kewibawaan terhadap anak didik
Kewibawaan atau Gezag berasal dari kata zeggen yang berarti “berkata”. Yaitu orang yang mempunyai kekuatan mengikat terhadap orang lain.
Tanpa adanya kewibawaan pada pendidik, tidak mungkin pendidikan itu dapat masuk ke dalam hati sanubari anak didik. Tanpa kewibawaan, anak didik hanya akan menuruti kehendak dan perintah gurunya karena takut atau karena paksaan, jadi bukan karena kesadaran di dalam dirinya.
4. Penggembira
Seorang pendidik atau guru hendaklah memiliki sifat suka tertawa dan suka memberi kesempatan tertawa kepada anak didiknya. Sifat ini banyak gunanya bagi seorang pendidik atau guru, antara lain guru akan tetap memikat perhatian anak didiknya pada waktu mengajar, dan anak didik tidak lekas bosan atau merasa lelah dan jenuh.
Memberikan humor hendaknya jangan digunakan untuk menjajah atau menguasai kelas sehingga dengan humor itu guru menjadi bertele-tele, melantur, lupa akan apa yang seharusnya diberikan dalam pelajaran itu. Yang penting lagi ialah humor yang dapat mendekatkan guru dengan anak didiknya, seolah-olah tidak ada perbedaan umur, kekuasaan, dan perseorangan. Mereka merupakan menjadi suatu kesatuan, merasakan kesenangan dan pengalaman bersama-sama.
5. Bersikap baik terhadap pendidik-pendidik lainnya
Tingkah laku dan budi pekerti anak didik banyak dipengaruhi oleh suasana di kalangan guru-guru atau para pendidiknya. Jika guru-guru saling bertentangan, tidak mungkin dapat diambil sikap dan tindakan yang sama oleh anak didiknya.
Setiap guru harus menjaga nama baik dan kehormatan teman sejawatnya. Guru harus bertindak bijaksana jika ada anak didik atau kelas yang mengadukan kekurangan atau keburukan seorang guru kepada guru lain. Demikian pula, sifat seorang guru yang suka mengejek atau menjelekkan guru lain di depan anak didiknya, merupakan suatu sikap yang tidak dapat dipuji dan dibenarkan.
6. Benar-benar menguasai materi pembelajaran
Pendidik atau guru harus selalu menambah pengetahuannya. Mengajar tidak dapat dipisahkan dari belajar. Guru yang pekerjaannya memberikan pengetahuan-pengetahuan dan kecakapan-kecakapan kepada anak didiknya, tidak mungkin akan berhasil jika guru sendiri tidak selalu berusaha menambah pengatahuannya. Jadi sambil mengajar, sebenarnya guru itu pun belajar.
7. Berpengetahuan luas
Pendidik atau guru haruslah seorang yang mempunyai perhatian intelektual yang luas dan yang tidak kunjung padam. Para guru hendaknya dapat melihat lebih banyak lagi, memikir lebih banyak lagi, dan mengerti lebih banyak daripada orang-orang lain di dalam masyarakat tempat ia hidup. Pendek katanya, guru harus mengetahui lebih banyak tentang dunia ini.

Demikian tadi telah dijelaskan, betapa banyak etika atau sikap dan sifat-sifat yang baik yang harus dimiliki oleh pendidik atau guru.
Selanjutnya kita ulas mengenai etika ilmuwan yaitu orang yang ahli atau mempunyai banyak pengetahuan mengenai suatu ilmu tertentu. Biasanya apabila orang Islam berbicara tentang ilmu, maka yang dimaksud dengannya adalah ilmu-ilmu agama, akan tetapi mereka juga menggolongkan ke dalamnya ilmu-ilmu yang lain yang bukan ilmu agama. Para ulama menjadikan ilmu sebagai alat untuk mencapai tujuan, atau untuk memperoleh tujuan pendidikan yang tertinggi menurut pandangan mereka, yaitu keridhoan Allah dan menikmati kebahagiaan yang abadi di akhirat kelak.
Kekuatan memahami dan berpikir akan bertambah kuat dengan adanya ilmu dan pengalaman, karena dengan ini ilmuwan dapat memperoleh akal yang memampukan dia untuk menekan hawa nafsu yang mengajak kepada kelezatan yang cepat dan sementara. Misalnya seorang dokter lebih mampu menjaga dirinya dari memakan sebagian makanan yang berbahaya, berkat ada ilmunya mengenai sifat-sifat makanan. Demikian pula selanjutnya seorang yang berilmu akan lebih mampu dalam menjauhi pekerjaan maksiat dari orang yang bodoh, karena ada kekuatan ilmunya yang menghambat dia untuk mengerjakan kejahatan. Penulis maksudkan dengan orang alim di sini adalah orang alim yang sebenarnya.
Dalam hal ini Al-Ghazali mempunyai pendapat yang sama dengan Plato yang mengatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah untuk mengikuti jalan yang baik, keutamaan, mengetahui yang berfaedah dan yang merusakkan, dan untuk mengatasi kegemaran-kegemaran nafsu naluri. Akan tetapi Al-Ghazali pada keterangan yang lain mengatakan tidak mencukupi dengan memiliki ilmu saja, akan tetapi harus diperkuat dengan amal dan untuk ini beliau mengatakan : “Semua manusia itu binasa, kecuali orang yang berilmu, dan orang yang berilmu itupun binasa pula kecuali orang yang beramal, dan orang yang beramal itu juga binasa, kecuali orang yang ikhlas, dan orang ikhlas memperoleh kehormatan yang besar”.
Adapun yang dimaksudkan dengan amal menurut Al-Ghazali ialah :
1. Membersihkan kata hati dari kotoran-kotoran dunia, akhlak yang jelek, dan kegelapan hawa nafsu yang merupakan penghalang dengan Tuhan dan hambatan untuk mengetahui segala sifat-sifat-Nya dan perbuatan-perbuatan-Nya.
2. Menghias diri dengan sifat-sifat yang terpuji seperti sabar, berterima kasih, takut dan berharap, zuhud, taqwa, qona’ah, berbudi pekerti yang baik, bergaul yang baik dan memiliki sifat-sifat yang ikhlas.
3. Menjauhkan diri dari pekerjaan-pekerjaan yang tercela, seperti takut kemiskinan, tidak senang kepada taqdir, hasud, dengki, menipu, ingin dipuji atau takabbur, riya’ dan bermegah-megah.
Para ulama Islam tidak melupakan akan kepentingan amal sebagai faktor yang memperkuat ilmu pengetahuan. Sebenarnya ilmu adalah untuk membina prinsip-prinsip yang utama dan membentuk ideal dan sentimen, dan meluruskan jalan untuk memilih yang baik.
DAFTAR PUSTAKA

D. Marimba, Ahmad. (1974). Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung : Al-Ma’arif

Hanafi, A. (1976). Pengantar Filsafat Islam. Jakarta : Bulan Bintang.

Hasan Fahmi, Asma. (1978). Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta : Bulan Bintang.

Purwanto, M. Ngalim. (1994). Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung : Remaja Rosda Karya.

Yunus, A. (1999). Filsafat Pendidikan. Bandung : Citra Sarana Grafika.