SAMBUTAN DARI BAPAK LILI RAMLI

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Inilah Website Resmi Bapak Lili Ramli sebagai wadah untuk menularkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, khususnya Materi Bahasa Indonesia, TIK, dan Materi Umum Lainnya.
Mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

MAKALAH ASAL USUL DAN PERTUMBUHAN GERAKAN MODERN ISLAM GERAKAN PENDIDIKAN DAN SOSIAL

ASAL USUL DAN PERTUMBUHAN GERAKAN MODERN ISLAM
GERAKAN PENDIDIKAN DAN SOSIAL

Menelaah kembali asal usul dan perkembangan dari berbagai organisasi pembaharu dalam bidang sosial dan pendidikan, dapatlah dikemukakan bahwa tiap organisasi tersebut mempunyai sifatnya sendiri-sendiri yang dibentuk oleh lingkungannya, pengaruh dari kepribadian pemimpin-pemimpinnya dan juga tantangan yang dihadapkan oleh berbagai-bagai pihak di dalam dan juga di luar lingkungan masyarakat Islam.
Persamaan antara sifat-sifat tersebut tidaklah pula kurang. Dapatlah diingatkan kembali bahwa berbagai faktor telah turut menyebabkan berdirinya organisasi-organisasi itu di dalam berbagai tempat di Nusantara. Jamiat Khair di Jakarta dimulai oleh orang-orang yang berusaha untuk memenuhi keperluan pendidikan dalam lingkungan masyarakat Muslim, khususnya masyarakat Arab, disebabkan oleh kurangnya kesempatan untuk anak-anak mereka memasuki sekolah-sekolah pemerintah dan sangat kecilnya perhatian pemerintah pada bidang pendidikan. berdirinya Jamiat Khair lebih didorong oleh pertimbangan-pertimbangan praktis dari pada oleh kesadaran-kesadaran filosofis ataupun agama. Dia merupakan pencerminan dari keengganan para pendirinya untuk tetap tertinggal dari kemajuan yang dicapai oleh orang-orang Barat, yaitu orang-orang Belanda, serta prestasi yang dicapai oleh orang-orang Cina yang telah dapat berhasil menegakkan sebuah organisasi sosial di kalangan mereka pada permulaan abad ini. Ia juga merupakan pencerminan tentang ketidaksenangan terhadap Belanda, yang dirasakan lebih memperhatikan kecenderungan untuk menganak-emaskan orang-orang Cina dibandingkan dengan perhatian terhadap masyarakat Arab atau Muslim. Pendirian Hollands Chinese School (HCS) dalam tahun 1909 oleh pemerintah Belanda dianggap oleh banyak orang-orang Indonesia Islam sebagai bukti atas diskriminasi tersebut. Apalagi mengingat bahwa sekolah yang serupa untuk orang-orang pribumi, yaitu Hollands Inlandse School (HIS) baru didirikan pada tahun 1914 setelah demikian banyak kekecewaan dikemukakan oleh ornag-orang Indonesia dan setelah mereka sendiri memulai sekolah-sekolah sejenis itu.
Tambahan pula politik Hadramaut telah turut memainkan peranan dalam keputusan yang diambil oleh para pendiri Jamiat Khair untuk mendirikan organisasi itu.
Pada umumnya kekurangan sekolah yang didirikan oleh pemerintah Belanda di Indonesia merupakan salah satu motivasi untuk mendirikan organisasi-organisasi tersebut di atas. Organisasi-organisasi Islam di Yogyakarta ditantang pula oleh kehadiran missi Kristen dalam lingkungannya ; daerah yang sebagian besar seharusnya berada di bawah kekuasaan raja-raja pribumi, yaitu Sultan dan Sunan, yang menganggap diri mereka pelindung agama Islam. Mengakui keberhasilan missi-missi tersebut dalam memperoleh pengikut, pihak Muhammadiyah berusaha untuk menghentikan perkembangan hasil missi ini dengan mencontoh cara-cara kegiatan mereka. Maka dilancarkanlah pekerjaan-pekerjaan sosial dan gerakan kepanduan.
Sebab lain bagi Muhammadiyah yang juga merupakan sebab pula bagi Persis, gerakan di Minangkabau dan di Majalengka adalah tidak adanya pelajaran agama di sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah. Apa yang disebut politik netral terhadap agama di sekolah-sekolah pemeritah (suatu hal yang merupakan kebiksanaan pemerintah) akan menyebabkan murid-murid tidak tahu tentang agama dan kepercayaannya. Oleh sebab itu hal tersebut akan menyebabkan emansipasi orang-orang Indonesia dari Islam. Hal inilah yang menyebabkan terjalinnya hubungan Dahlan dengan guru-guru dari sekolah-sekolah pemerintah Yogyakarta, hubungan Haji Abdullah Ahmad di Padang dan Syaikh Djamil Djambek di Bukittinggi dengan murid-murid Mulo dan sekolah guru, dan hubungan Hassan di Bandung dengan para pelajar sekolah-sekolah menengah dan sekolah guru setempat.
Abdul Halim di Majalengka, di samping sebab-sebab di atas, juga didorong oleh pertimbangan untuk berswadaya. Ia tidak menghendaki murid-muridnya menjadi kyai saja, ia pun mengakui tentang perbedaan-perbedaan sifat dan bakat seseorang dan kenyataan bahwa hidup sehari-hari menurut keterampilan di samping pengetahuan agama. Ia juga tidak menyetujui sistem di sekolah-sekolah pemerintah yang hanya menghasilkan para lulusan yang dapat memenuhi keperluan administrasi pemerintahan atau perusahaan-perusahaan Belanda, tanpa mempunyai keterampilan ataupun kemampuan dan keberanian untuk berusaha sendiri di tengah masyarakat. Muhammadiyah pun merasakan perlunya keterampilan ini dan menganjurkan kepada sekolah-sekolahnya untuk sedapat mungkin memberikan pelajaran-pelajaran yang bersifat keterampilan, seperti kerajinan tangan, di mana mungkin. Hal ini terutama dapat terlihat pada pendidikan para wanita dewasa. Aisyiah mendirikan kursus-kursus menjahit dan menyulam. Kegiatan seperti ini tidaklah merupakan monopoli Aisyiah saja, oleh sebab wanita-wanita Persis di Bandung dan pemimpin-pemimpin wanita di Minangkabau juga memberikan perhatian dalam hal yang sama.
Dalam menyebarkan pemikiran-pemikiran mereka dan dalam mencari pengikut, organisasi-organisasi tersebut menjalankan berbagai macam kegiatan dan memperlihatkan bermacam-macam sikap walaupun banyak di antara cara-cara mereka itu mengandung persamaan. Tabligh, khotbah Jumat, pertemuan-pertemuan umum, diskusi dengan pihak-pihak bukan Islam di samping mendirikan sekolah-sekolah tadi, merupakan cara-cara yang dipergunakan pada umumnya oleh semua organisasi. Mereka juga aktif dalam menerbitkan buku-buku, brosur-brosur, majalah-majalah dan selebaran-selebaran, walaupun banyak dari majalah-majalah itu dikeluarkan secara tidak tetap atau terpaksa harus dihentikan oleh sebab kekurangan biaya. Sikap dalam kegiatan berpropoganda ini memperlihatkan perbedaan antara organisasi yang satu dengan yang lain dan antara pribadi yang satu dengan pribadi yang lain. Demikianlah umpamanya hubungan yang bermusuhan dan tanpa kenal kompromi terlihat dalam lingkungan masyarakat Arab, antara Al-Irsyad dan Jamiat Khair. Permusuhan seperti ini dalam masa jajahan tampaknya tidak dapat pulih kembali.
Persis kelihatannya seakan-akan menumbuhkan antagonisme, kalaupun tidak permusuhan, di mana-mana, mulanya di kalangan atau golongan tradisi, kemudian di pihak kalangan nasionalis yang telah di-emansipasi-kan, malahan dalam lingkungan golongan pembaharu Islam yag aktif berpolitik, seperti Sarekat Islam dan Persatuan Muslimin Indonesia. Sangatlah sukar untuk menetapkan dengan pasti siapa yang bertanggung jawab terhadap pertumbuhan permusuhan ini. Mungkin sekali semua pihak turut bersalah, tetapi untuk membatasi diri pada Persis, dapatlah dikatakan bahwa Hassan termasuk seorang yang sangat keras dalam menertapkan pendirian ; cara ia menulispun menyebabkan ketidaksenangan pada lawan-lawannya, walaupun ia sebenarnya tetap tinggal obyektif dan menghindarkan kecaman-kecaman yang bersifat pribadi. Dia mempunyai pendapat bahwa aplikasi fatwanya, baik tentang masalah furu’ ataupun masalah usul, sebagai sesuatu yang tidak dapat dikompromikan, suatu sikap yang banyak persamaannya dengan Haji Rasul di Minangkabau. Namun perlu ditambahkan, bahwa pribadi Hassan sendiri adalah simpatik, sabar dalam mendengarkan pendapat orang, sopan dalam pergaulan dan suka juga berkelakar.
Sikap Dahlan dari Muhammadiyah sangat berbeda. Tujuan Dahlan ialah bagaimana menumbuhkan minat masyarakat terhadap Islam, bagaimana menumbuhkan perasaan kegembiraan, puas dan bangga sebagai orang Islam. Ia berpendapat bahwa kebenaran itu hanya dapat direalisasikan secara berangsur-angsur dan tidak secara sekaligus. Oleh sebab itu, menurut pendapatnya pangkal tolak seorang propagandis ialah bagaimana memperoleh kepercayaan dari orang lain. Diskusi-diskusi yang diadakannya cenderung bersifat mengundang para pendengar atau peserta, termasuk orang-orang bukan Islam, untuk berpartisipasi dalam mencari kebenaran ini, dan bukan untuk sekedar mendengar perintah yang harus dijalankan. Pendekatannya sangat simpatik ini memberikan cap tertentu bagi organisasi yang ia dirikan.
Cara untuk tiba pada suatu putusan atau fatwa pada umumnya sama pada kalangan para pembaharu. Ijtihad menghendaki usaha yang terus menerus dalam memperbandingkan pendapat seseorang dengan pihak lain, kesediaan untuk meninggalkan pendapat yang telah diambil dan memberi tempat kepada pendapat orang lain yang didasarkan atas argumen yang lebih kuat. Tetapi cara untuk menyampaikan pada pihak-pihak lain tentang hasil ijtihad tersebut berbeda umpamanya di antara Muhammadiyah dengan Persis. Muhammadiyah lebih sabar, lebih memperlihatkan pengertian dalam sikapnya terhadap orang lain, lebih mengakui bahwa perubahan dalam kebiasaan tidak dapat dilakukan serta merta. Persis lebih tegas, lebih memperhatikan kecenderungan untuk mengecam pihak lain, seakan merupakan suatu perintah, yang oleh karena dianggap benar harus dijalankan dengan serta merta. Sungguhpun demikian sifat organisasi Muhammadiyah, tidak semua cabang-cabangnya memperlihatkan sifat-sifat yang sama. Dinamika orang-orang Minangkabau yang dari semenjak mereka kecil telah terlatih dalam keterus-terangan, memberikan corak yang seperti itu pula pada organisasi ini di daerahnya. Pemimpin-pemimpin Muhammadiyah di daerah Minangkabau berbeda dari pendiri organisasi itu, yang berusaha untuk mencari pengikut dengan persuasi, pengertian dan simpati. Orang-orang Minangkabau lebih berterus terang dan lebih tegas dalam menunjukkan kelainan kalangan tradisi mengenai ajaran-ajaran Quran dan Hadits. Dalam hubungan ini para pemimpin Muhammadiyah di Minangkabau itu mempunyai sifat yang dapat dikatakan sama dengan para pemimpin Thawalib dan Permi.
Tambahan lagi pemimpin-pemimpin Muhammadiyah di Minangkabau dalam pidato-pidato mereka diwarnai pula oleh perkembangan politik, walaupun berbeda dengan para pemimpin Thawalib dan Permi, mereka tidak aktif dalam kegiata politik. Propogandis Muhammadiyah di pesisir Sumatera bagian timur yang pada umumnya terdiri dari orang-orang yang berasal dari Minangkabau sering mempunyai hubungan yang tidak serasi dengan pihak pemerintah dan rakyat dari berbagai kesultanan di sana yang pada umumnya merupakan pengikut-pengikut mazhab Syafi’i.
Gerakan pembaharu di Minangkabau memang mempunyai suatu sifat tersendiri yang apda umumnya diwarnai oleh sifat politik. Banyak di antara pemimpin-pemimpinnya dibuang oleh pemerintah Belanda. Seorang di antara pemimpin pembaharu itu ialah Haji Rasul yang tidak pernah berbagung pada organisasi manapun juga, tetapi malah dituduh oleh pemerintah Belanda sebagai seseorang yang mengganggu ketertiban dan ketenteraman.
Kita telah menyinggung beberapa kebiasaan yang dikecam oleh para pembaharu dan yang dipraktekan oleh para kalangan tradisi. Para pembaharu meninggalkan kebiasaan-kebiasaan dalam mengajar yang dilakukan oleh golongan tradisi, mengecam ushalli, talqin, haul dan kenduri untuk kematian sebagai suatu bid’ah, dalam lingkungan masyarakat Arab mereka mengecam taqbil dan menolak persoalan kafa’ah dalam perkawinan, mereka tidak mengakui sayid sebagai gelar ataupu sebagai tanda kedudukan yang harus dihormati serta mempunyai bermacam-macam keuntungan. Mereka semuanya tidak menyetujui tarekat dan menolak segala macam sihir dan sebagainya.
Berlawanan dengan pendapat para kalangan tradisi, mereka tidak mengecam musik (mereka memang tidak menyukai musik apabila musik menyebabkan seseorang meninggalkan kewajibannya) mereka pun juga mengakui manfaat gambar-gambar dan patung-patung terutama untuk maksud pendidikan. Mereka tidak menolak tasyabbuh (penyamaan dengan pihak bukan Islam) dalam soal berpakaian dan lebih menyukai hisab daripada ru’yah untuk menentukan permulaan bulan, terutama permulaan bulan Ramadhan dan Syawal, mereka mengakui bahwa para wanita juga mempunyai hak-hak sendiri, terutama dalam mengejar pengetahuan tidaklah boleh wanita didiskriminasikan. Mereka menolak kebiasaan-kebiasaan adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Kita telah membicarakan masalah ijtihad dan taqlid dalam bagian pendahuluan. Banyak ayat-ayat Quran yang dipergunakan golongan pembahari untuk menyokong aplikasi ijtihad dan meninggalkan taqlid. Di samping itu Persis mengakui ittiba’ yaitu penerimaan pendapat orang lain yang didasarkan atas Quran dan Hadits untuk menyokong pendapat tersebut. Tidak semua orang dapat menjadi mujtahid, kata Persis, tapi ini tidak berarti bahwa seseorang hanya mengikuti pendapat orang lain secara membabi buta (ini adalah taqlid), orang dapat menerima pendapat orang lain tersebut atas dasar Quran dan Hadits. Mereka yang melakukan ittiba’ disebut muttabi’. Walaupun sebenarnya tidak mempergunakan istilah ittiba’ dan muttabi’, dapatlah dengan aman dikatakan bahwa para pembaharu yang lain pun setuju dengan penamaan yang dikemukakan oleh Persis ini.
Tetapi pengakuan tentang ijtihad dan kembali pada Quran dan Hadits sebagai sumber-sumber hukum, tidaklah terbit secara serta merta, secara tiba-tiba, melainkan secara berangsur-angsur, kadang-kadang disebabkan oleh tantangan yang dilakuka oleh golongan tradisi sendiri. Di antara para pembaharu di Minangkabau umpamanya, serangan terhadap taqlid mulanya diarahkan kepada kalangan tradisi, sedangkan imam-imam seperti pendiri mazhab tetap dihormati sebagai mujtahid yang sebenarnya. Tentang ulama-ulama tradisi yang semasa dengan mereka ini, pembaharu-pembaharu ini mengatakan :
Perhatikanlah beberapa banyak daripada gelaran imam-imam, labai-labai pada sekolah di sini pada hal makna imam itu ialah ikutan. Halnya buat pekerjaan yang bersangkut dengan dirinya belum ia tahu menguruskan betapa pula ia dijadikan ikut-ikutan hingga terkadang-kadang meluruskan macam-macam lidahnya sendiripun ia tidak kuasa.
Haji Abdullah Ahmad mencatat bahwa ada “ulama baca”, yaitu ulama yang “kadar tahu membaca dan menulis saja”, dan ada “ulama logat”, yang “sekedar mengerti memindahkan daripada satu logat kepada logat bahasanya sendiri”. Menurutnya, kedua macam ulama ini tidak memadai buat mengobati dan menyembuhkan penyakit.
Istimewa jika ulama itu sangat kaku serta semata-mata berserah saja kepada kadar misal-misal yang tertulis kepada satu kitab atau kepada faham orang yang seorang dan kepada karangan orang yang tertentu. Apa yang munasabah dengan zaman duapuluh tahun yang sudah tentu tak kaku lagi jika dijalankan juga pada waktu sekarang.
Bagaimanakah ulama yang ideal menurut golongan ini ? Al-Munir mengemukakan bahwa seorang ulama seharusnya ialah yang mengetahui ilmu bacaan serta tahu dengan ilmu logat bertambah pula dengan pengetahuan tafsir maksud tiap-tiap ayat Quran itu, supaya memilih ia akan beberapa macam kandungan ayat Quran atau Hadits Nabi Muhammad saw. mana yang bersetuju dengan zamannya dan mana yang bersetuju dengan ihwal anak-anak bangsanya.
Di samping itu dalam tahap pertama referensi kepada kitab-kitab mazhab yang ditulis oleh Syafi’I ataupun pengikutnya merupakan hal yang sering terjadi. Al-Munir pada tahun 1912 menyebut Quran, Hadits dan Ijma ‘al mujtahidin sebagai referensi. Sedangkan pada tahun berikutnya referensi ijma’ al-mujtahidin ini diganti dengan ‘atsar-atsar dari shahabah’, yaitu sahabat Nabi saw.. Para pembaharu itu, sekurang-kurangnya di Minangkabau, mulai meneliti apakah berbagai fatwa yang telah ada sesuai dengan sumber-sumber tadi. Dalam hubungan inilah mereka mengemukakan kemungkinan terdapat kesalahan pada pihak pendiri mazhab.
Al-Munir juga menunjukkan pada adanya kesimpulan-kesimpulan yang berbeda di antara para mujtahid itu yang kata mereka, tidak hendak memaksa untuk mendirikan sesuatu mazhab ataupun agar taqlid dilakukan terhadap fatwa-fatwa mereka.
Para pembaharu itu mengemukakan bahwa maksud mereka yang sebenarnya adalah agar Quran dan Hadits itu saja yang diakui sebagai sumber dalam Islam. Pendapat maupun fatwa lain hanyalah merupakan bahan-bahan perbandingan untuk memperoleh kebenaran yang sesungguhnya.
Kembali kepada Quran dan Hadits secara lambat laun ini mencerminkan pula kemajuan yang dilakukan oleh golongan pembaharu dalam bacaan mereka. Kita ingat bahwa mereka belajar di Mekkah dari kitab-kitab Mazhab dan dengan guru-guru yang menjadi pengikut mazhab. Walaupun mereka telah membaca kitab-kitab abduh pada waktu itu, namun hanya sesudah mereka kembalu baru mereka mendalami pemikiran pembaharu Mesir tersebut. Dalam tahun 1915 mereka mulai menelaah kitab-kitab yang ditulis oleh ulama-ulama yang dipelajari oleh Abduh sendiri, yaitu tulisan-tulisan Ibn Taimiyyah dan Ibn al-Qayyim, yang mengecam bid’ah, menekankan tauhid dan menegakkan Quran dan Hadits sebagai sumber ajaran Islam yang sesungguhnya.


Informasi Selengkapnya Hubungi :
Bapak Lili Ramli, S.Pd.I.
Kontak HP. 081802318894