SAMBUTAN DARI BAPAK LILI RAMLI

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Inilah Website Resmi Bapak Lili Ramli sebagai wadah untuk menularkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, khususnya Materi Bahasa Indonesia, TIK, dan Materi Umum Lainnya.
Mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

MAKALAH NASKAH DRAMA

NASKAH DRAMA
“JANJI”

PARA PELAKU
1. Yanti
2. Pemuda I
3. Pemuda II
4. Herman
5. Pak Tua

PROLOG
Cerita drama mini ini sebagian dari kejadian yang dialami kaum remaja yang berstatus sebagai pelajar. Ceritanya dimulai ketika para pelajar pulang dari sekolah. Di tempat yang sepi dua orang pelajar bernama Yanti dan Herman bertemu dan berbincang-bincang. Kedua remaja itu berbicarakan berbagai hal berkaitan dengan dunia remaja mereka dengan asyik. Setelah itu, keduanya berpisah dan berjanji akan bertemu lagi. Tapi, ketika Yanti menunggu Herman di tempat yang dijanjikan, tiba-tiba datang dua pemuda berandal. Keduanya menggoda Yanti dengan kasar. Yanti hampir saja celaka. Beruntung, Herman yang terkenal baik hati itu dapat menyelamatkan Yanti. Itulah sebagian peristiwa yang dialami remaja masa kini.

BABAK 1
PANGGUNG
Panggung menggambarkan tempat di pinggir jalan pada siang hari yang lengang. Di latar belakang tampak pepohonan yang cukup ribun.

Yanti : (muncul dengan membawa buku, berjalan akan pulang, tetapi bertemu Herman dan keduanya saling menyapa)
Herman : (menegur lebih dulu) Heh, cari barang rongsokan, ya?
Yanti : (terkejut) Ah, kamu Herman, jadi terkejut aku.
Herman : Jalan kok menunduk saja, sedang mencari barang-barang bekas?
Yanti : Ah, ada-ada saja kamu. Masak iya jalanku seperti orang mencari barang-barang bekas. Kalau begitu, tolong Her, ambilkan keranjang untuk rongsokan. (ketawa riang) Hihi …
Herman : (berlagak akan mengambil). Baik, Nona.
Yanti : Her, Her mau ke mana?
Herman : Lho, kok ditanya, ambil keranjang, kan?
Yanti : Her, jangan begitu, aku main-main saja, kok.
Herman : (diam, pura-pura tersinggung)
Yanti : (mendengar pelan) Herman, aku main-main saja, lo, kau marah?
Herman : (masih pura-pura) Tidak, aku tidak marah. Hanya …
Yanti : (ingin tahu) Apa Her? Katakan. Apakah aku bicara tidak sopan tadi?
Herman : Tidak. Hanya saja kamu …
Yanti : (semakin ingin tahu) Herman, katakan saja apa yang kamu maksud. Biar aku dapat memperbaiki kekuranganku. Atau, aku harus minta maaf kepadamu, Her?
Herman : Tidak. Kamu tidak usah minta maaf kepadaku. Kamu tidak bersalah. Hanya …
Yanti : (kesal dan takut) Aku semakin tidak mengerti dan bingung.
Herman : (semakin menggoda) kamu tidak mengerti, Yanti?
Yanti : (seolah akan menangis) Herman, kalau kamu masih menggodaku dan aku tak bersalah, … baiklah, aku pulang saja. Aku malu, Her.
Herman : (maksud menggoda jadi pudar) Yanti, aku …, hahaaaaa …
Yanti : Kau dari mana? Pulang sekolah?
Herman : Tidak, dari menyelesaikan pekerjaan di rumah orang.
Yanti : Di rumah orang? (keheranan) Maksudmu?
Herman : Ayo, coba terka Yan?
Yanti : (menjawab manja) kau menggoda lagi, ya.
Herman : Hahaaaa, eee, yang ini tidak, Yan. Aku ingin tahu kemampuanmu menerka teka-teki ini. Cobalah kalau dapat. Hadiahnya besar.
Yanti : Enggak mau, Her. Aku takut salah lagi.
Kamu saja yang menjawab.
Herman : (senyum sayang) Baiklah, begini Yanti, aku sudah lama mencoba membantu ayahku mencari rezeki. Yaaaa …, sambil belajar untuk hidup mandiri kelak.
Yanti : Yang kamu maksud itu, kamu sudah bekerja sambil untuk membantu kebutuhan hidup keluargamu?
Herman : Yaaah, begitulah kurang lebihnya. Hanya saja tidak tetap. Sekali waktu kalau ada kesempatan, seperti kalau tidak ada ulangan atau tidak ada PR.
Yanti : Kalau begitu, tentunya kau sibuk sekali, Her.
Herman : Bukan hanya sibuk, malah aku sering mbolos.
Yanti : Mbolos? Apa tidak dimarahi Pak Guru?
Herman : Semua ini karena terpaksa untuk memenuhi kebutuhan mendesak. Siapa lagi kalau bukan aku. Ayahku menghidupi tujuh orang, termasuk aku.
Yanti : Oooh, kamu masih punya adik empat, Her. Alangkah bahagianya kamu.
Herman : Memang, kelihatannya, keluarga kami bahagia.
Yanti : Kalau sering mbolos, apa tidak terganggu belajarnya?
Herman : Sering meninggalkan pelajaran, memang terganggu. Aku sering mendapat teguran. Alhamdulillah, ayahku dapat menjelaskan, dan bapak kepala sekolah dapat memahaminya.
Yanti : Tak kusangka, pengorbananmu demikian besar, Her. Tentunya orang tuamu amat bangga punya anak laki-laki seperti kamu.
Herman : Apa yang kulakukan atas kemauanku sendiri, tanpa paksaan dari siapa saja. Ayahku sebenarnya tidak mengizinkan aku membantu mencari nafkah.
Yanti : Herman, ngomong-ngomong apakah kamu bersedia membantu aku?
Herman : (terkejut) Eeee, apa yang kamu maksud, Yan?
Yanti : (ragu-ragu) Eeee, kalau tak ada waktu, tak apalah, besok-besok saja.
Herman : Lho. Dapat. Dapat, Yan Cuman, kalau bantuan yang kau maksud itu … (ragu-ragu akan meneruskan).
Yanti : (menjawab datar) Masa bahan ulangan saja nggak ada waktu.
Herman : (terkejut) Haaa, bahan ulangan? Aku kira nonton film.
Yanti : (heran) Nonton film, yang ngajak nonton kamu siapa?
Herman : Iya, iya … begini, terus terang saja aku sangat hati-hati mengeluarkan uang yang tidak banyak manfaatnya. Maka dari itu, permintaan bantuanmu tadi langsung ku kira akan ngajak nonton film.
Yanti : Gayamu, kau kira aku apa? Aku bukan teman-temanmu itu.
Herman : Maaf, Yan, aku salah menafsirkan bicaramu.
Yanti : (ganti salah tingkah) Herman bicaramu. Tidak mengajakmu nonton. Jangan mengira seenakmu. Sebenarnya aku tidak berencana minta bantuanmu, tapi karena kebetulan bertemu, apa salahnya aku menyampaikan maksud baikku.
Herman : (nada mengalah) Iya, iya, aku sudah mengerti. Aku bersedia membantumu, belajar bersama.
Yanti : Bersama, bersama? Kau kira aku pacarmu, ya? (berlagak berlalu)
Herman : Yanti aku kan sudah minta maaf atas kesalahanku. Masa, masih saja dianggap salah. Aku kan temanmu.

Yanti : (hatinya luluh) Jadi, kau ngaku salah, ya. Ingat baik-baik, aku bukan pacarmu, Her. Aku hanya temanmu. Aku bukan perempuan bebas, bukan gadis yang suka pesta dan mau enak sendiri.
Herman : Iya, iya. Sudah jelas semuanya. Aku hanya akan membantumu belajar, dan …
Yanti : Dan apa lagi, minta upah ya …?
Herman : (jadi geli dan tertawa senang) Bagaimana kamu ini. yang kumaksud, di mana belajarnya? Di sekolah atau di perpustakaan kota.
Yanti : Di rumahku saja, tidak usah jauh-jauh.
Herman : (rasa takut) Di rumahmu? Aku takut, Yan.
Yanti : Takut, mengapa? Ooo, iya, rumahku jelek. Ya sudahlah … (berlalu).
Herman : Heee, tunggu dulu. Kamu ini bagaimana? Kok mudah nembek. Maksud saya di sekolah atau di perpustakaan, karena aku takut ayahmu.
Yanti : (tertawa senang) Hihihii, Herman, kamu ini pemuda apa? Bertemu ke rumah orang kok takut. Mau jadi banci, ya. Hihihiii.
Herman : Bukan begitu. Aku kan belum pernah bertemu dengan ayahmu. Yang aku kenal baru ibumu.
Yanti : Kau ke rumahku karena aku yang minta. Mengapa kau akan mundur menemui halangan?
Herman : Oke, asal kamu yang menanggung risikonya, aku akan datang ke rumahmu. Tapi, aku hanya membantu kamu dalam belajar, lo.
Yanti : Habis, mau apa lagi?
Herman : Stop, stop. Jadi rame lagi nanti. Sudah siang, mari kita pulang.
Yanti : (melihat sekeliling) Wah, iya Her, sampai lupa aku. Ibuku jangan-jangan marah kalau aku pulang terlambat. Baiklah kalau begitu. Jangan lupa Her, ke rumahku nanti sore, ya?
Herman : (masih ragu) Yanti, bagaimana kalau besok saja.
Yanti : Her kau malu datang sendiri ke rumahku? Pemuda kok pemalu.
Herman : Iya, Ti. Aku tak biasa bertemu ke rumah anak perempuan.
Yanti : (teringat sesuatu) Ooh iya, kebetulan, nanti sore aku disuruh ibu mengantarkan barang ke rumah Bu Lik. Naak, kau menunggu di sini. Nanti setelah dari rumah Bu Lik, aku lewat sini, lalu kita bersama ke rumahku. Setuju, Her?
Herman : (berpikir-pikir) Bolehlah. Pokoknya, kamu yang menanggung risikonya.
Yanti : (tertawa senang) Herman, ayahku orangnya baik sekali. Kamu tentu tak akan diterima dengan muka cemberut. Sampai nanti ya Her.

BABAK 2
Kedua remaja itu berpisah dan berjanji akan bertemu lagi di tempat itu. Itulah dunia remaja yang baik. Akan tetapi, dunia ini bukan berisi kebaikan saja luas dan penuh godaan. Inilah godaan yang dialami kehidupan kaum remaja. Dua orang pemuda muncul bertingkah serba bebas dengan pakaian serba nyetrik, sok aksi, dan sombong.

Pemuda I : (malas) Rokokmu masih ada?
Pemuda II : (merogoh kantung jaketnya) kita perlu hiburan lainnya. (sambil menyalakan rokok di mulanya)
Pemuda I : Aku masih malas, mek. Kamu saja cari info.
Pemuda II : Apa? Aku sendirian? Tumben kamu bicara begitu. Rupanya kejantananmu mulai surut. Apa kau sudah puas dengan kenikmatan di sini saja? Hahahahahah …
Pemuda I : Bukan begitu. Aku perlu istirahat sebentar, mengembalikan pistol ini ke rumah. Aku khawatir ayah sudah pulang dari tugas.
Pemuda II : Aaaah, kau kan anaknya. Bawa benda seperti itu saja dimarahi. Kan ayahmu masih punya lainnya?
Pemuda I : Ayahku memang tak akan marah. Aku toh sudah cukup mampu untuk berdiri sendiri. Dan lagi, pistol hanya untuk menakut-nakuti tikus, hahahahahaaa.
Pemuda II : Coba, aku lihat mainanmu itu. Pantas enggak aku membawanya? (menyodorkan tangan, menerima) ini pistol jenis apa?
Pemuda I : Colt, sebenarnya pistolnya cow boy. Keren, kan …?
Pemuda II : Aku pikir, memang perlu memiliki mainan seperti ini. Eee, apa kamu bisa membelikan untukku?
Pemuda I : Kamu bicara serius?
Pemuda II : Kamu kira aku main-main. Berapa harga yang kau minta, kubayar kontan.
Pemuda I : Ah, itu mudah diatur. Pokoknya, kamu tahu sendiri. Yang penting, kita tetap sepaham, … hahahahahaaaaa.
Pemuda II : Selama ayahku masih menguasai perdagangan, apa saja yang kuminta pasti dituruti. Yang penting kan uang ….
Pemuda I : Benar juga katamu, Mek. Hidup tanpa uang seperti mobil tanpa bensin. Betul, tidak? Hahahahahaaaa.
Pemuda II : (menganggukan kepala, setuju) Nah, … acara selanjutnya ….
Pemuda I : Aaaah, terserah kamu saja. Cukongnya kan kamu.
Pemuda II : Begini saja, kita makan-makan dulu dan sesudah itu cari mangsa lagi. Setuju, tidak?
Pemuda I : Setuju saja, pokoknya senang …

BABAK 3
Kedua pemuda berlalu meninggalkan tempat itu. Di belakangnya muncul seorang tua yang rambutnya memutih.

Orang Tua : (berjalan perlahan-lahan) Tak kusangka dunia ini makin tua makin kotor. Aku menjadi sedih melihat keadaan hidup manusia zaman sekarang. Begitu jauh berbeda dengan zamanku dulu. Aku pernah muda, gagah, dan kaya. Tapi, semua kekayaanku sudah kuberikan kepada yang membutuhkan. Aku telah siap untuk mati. Segala hal yang aku miliki sudah tidak berarti apa-apa. Aku turun ke kota untuk melihat perubahan zaman yang dikatakan modern. Tak tahunya, hanya neraka dunia yang penuh ketidakjujuran. Hatiku menangis mendengar pembicaraan anak-anak muda tadi. Anak-anak siapa mereka, itukah hasil pendidikan orang tua yang katanya pintar dan banyak harta? Dunia memang semakin tua, seperti diriku ini. Siapakah yang akan mewarisi kebenaran dan kejujuran di masa mendatang? Apakah memang harus menjadi demikian dalam dunia yang dikatakan modern? Siapakah yang memulai menyebarkan kekotoran dan kenajisan ini …
(menangis pelan)
Yanti : (muncul, sambil memperhatikan sekeliling, mencari Herman yang dikiranya sudah menunggu).
Orang Tua : Den Ayu, mencari siapa, Den? (sambil menghapus air matanya)
Yanti : (ragu menjawab) Eee, anu Mbah, eee mencari temanku. Mbah siapa?
Orang Tua : Den, saya dari desa, datang ke kota ini hanya untuk jalan-jalan saja, Den.
Yanti : Eee, sendirian saja Mbah, mana temannya …?
Orang Tua : Tidak ada teman, Den. Simbah tak perlu teman.
Yanti : Mbah, boleh kah saya bertanya …?
Orang Tua : Silahkan, Den, kelihatannya gelisah.
Yanti : Apa melihat anak-anak laki-laki di sini, Mbah?
Orang Tua : Anak laki-laki? Ooooh, iya, iya. Saya melihatnya.
Yanti : Melihatnya Mbah, sekarang ke mana?

Orang Tua : Den Ayu, tenanglah Den. Siapa yang mencari kok kelihatannya tergesa-gesa. Memang, tadi Simbah melihat dua anak laki-laki yang hendak bersenang-senang saja.
Yanti : Dua anak laki-laki? Oh, bukan itu yang kucari, Mbah. Hanya satu anak laki-laki Mbah.
Orang Tua : Oooh, jadi mereka bukan kakak atau adik Den Ayu? Syukurlah kalau begitu. Memang pantas kalau mereka itu bukan saudara Den Ayu. Jelas perbedaan watak dan sinar mukanya. Den Ayu seorang wanita yang memiliki budi tulus dan jujur.
Yanti : Mbah, maaf sebelumnya. Jangan panggil Den Ayu. Malu kalau masih kelas I SMU Mbah. Sebentar lagi ulangan umum.
Orang Tua : Oooh, begitu. Eee, bagaimana kalau saya panggil Nak?
Yanti : Begitu ya enak kedengarannya. Mbah, aku ada janji dengan temanku untuk menunggu di sini.
Orang Tua : Menunggu untuk bertemu, Nak. Apa perlu menunggu di tempat sepi ini, apa kamu takut dimarahi orang tuamu?
Yanti : Bukan begitu, Mbah. Temanku takut datang sendirian ke rumahku. Takut kepada ayahku.
Orang Tua : Temanku takut, apa dia telah melakukan kesalahan?
Yanti : Tidak, Mbah. Eee, tidak tahu, kenapa dia takut kepada ayahku.
Orang Tua : Ooh, ya, ya, saya mengerti, Nak. Itu tandanya kalau dia anak laki-laki yang baik budi pekertinya. Beruntunglah kamu dapat teman seperti itu, Nak. Itulah anak laki-laki bertanggung jawab.
Yanti : (mendengar penjelasan demikian, Yanti jadi termenung, membayangkan diri Herman)
Orang Tua : Nak, tadi ketika berjanji jam berapa?
Yanti : Tadi siang, Mbah, sepulang sekolah. Aku minta tolong untuk membantu belajar. Sekarang, seharusnya dia sudah berada di sini.

Orang Tua : Nak, dari mana tadi?
Yanti : Saya dari rumah Bu Lik, Mbah. Di suruh ibu mengantarkan barang. Dia kusuruh menunggu di sini.
Orang Tua : Barangkali sebentar lagi dia datang, Nak. Saya akan meneruskan langkah, ya. Berhati-hatilah menjaga diri, bahaya selalu mengintai.
Yanti : Mbah mau ke mana? Temani saya dulu nanti saya beri upah.
Orang Tua : Nak, langkahku sudah sementara waktu berhenti. Baik-baiklah menjaga diri. Tidak usah takut. Tuhan selalu melindungi umatnya yang jujur dan tawakal. Selamat tinggal, Nak …. (berlalu).
Yanti : (kesal menunggu) ke mana saja Herman ini. katanya datang duluan, nyatanya belum nongol ... pembohong rupanya dia. (semakin kesal dan gelisah, tiba-tiba dikejutkan dengan kedatangan kedua pemuda berandal yang menunjukkan niat jelek terhadap Yanti).
Pemuda II : (memperhatikan Yanti) Mek, rupanya ada barang baru.
Pemuda I : Rupanya kembang dari kampung, Mek. Kamu dulu kamu yang menggoda.
Pemuda II : Aah, kamu ini selalu membonceng saja … lihat aku. (berjalan mendekati Yanti).
Yanti : (takut, gelisah, menjauhi pemuda itu, tersandung lalu jatuh dan cepat ditolong pemuda II, Yanti meronta melepaskan diri)
Pemuda I : Nurut saja, Dik. Dia anak Cukong, dia tahu sendiri.
Yanti : Mulutmu jangan lancang!
Pemuda II : Sudahlah, nggak usah banyak basa-basi.
Yanti : Setan kamu, tidak tahu diri. Kalau terus mengganggu, aku akan berteriak.
Pemuda I : Berteriaklah, siapa yang akan menolongmu?
Yanti : (ketakutan, lemas, menangis kecil) Herman, Herman ….
Pemuda II : Apa? Herman? Dia yang bersekolah di SMU negeri itu? Diakah pacarmu? Kebetulan sekali, Mek. Dia pacarnya Herman, musuh kita. Bagaimana kalau kita bawa pergi.
Pemuda I : Setuju. Bawa sekarang saja. Nanti keburu ketahuan orang lain. Ringkus saja, cepat! (Pemuda II menarik tangan Yanti).
Yanti : (meronta-ronta berusaha melepaskan diri dan berontak) tidaaaak! Jangan, jangaaaaaaan. Hermaaaaaan …!
Orang Tua : (muncul kembali karena mendengar teriakan Yanti) Ya, Tuhan, berdosa aku, mengapa anak itu aku tinggalkan sendirian … ke mana anak itu dibawa. Aku tak kuat menghadapi anak berandal itu. Apa yang kulakukan sekarang? (menyesali diri sendiri)
Herman : (datang tergesa-gesa, melihat sekeliling) Mana Yanti, aku terlambat. Tentunya dia sudah pulang duluan. Kususul saja … (dia ditegurkan orang tua)
Orang Tua : Nak, kau mencari siapa? Kelihatannya tergesa-gesa.
Herman : Ee, anu Mbah, eee apakah melihat anak perempuan di sini?
Orang Tua : Eee, begini saja, Nak. Demi keselamatan Yanti, kerjakanlah dia. Dua orang berandal membawanya lari entah ke mana. (menunjuk ke arah larinya mereka)
Herman : Dibawa berandal? Maksud Simbah anak-anak nakal?
Orang Tua : Benar, Nak. Cepatlah, kejar mereka. Selamatkan Yanti!
Herman : (segera berlari mengejar)
Orang Tua : Moga-moga saja dia dapat menyelamatkan anak gadis itu. (berlalu mengikuti Herman).
Herman : (mendekati Yanti yang sedang menangis menyesali kejadian yang menimpa dirinya) Yanti, Yanti, tak apa-apa kamu?
Yanti : (menggeleng-gelengkan kepala) Herman, mengapa kamu menipu…? Mengapa kamu berdusta, Herman?

Herman : Yanti, tenanglah hatimu. Akan kujelaskan persoalannya. Syukur, kamu selamat dari bahaya.
Yanti : Apa kamu tidak menipuku, Herman?
Herman : Tidak. Aku terlambat karena harus mengantarkan adikku ke dokter. Maafkan aku, Yanti.
Yanti : Benarkah bicaramu itu? Tidakkah ini semua merupakan permainan untuk mempermalukan aku?
Herman : Yanti, jangan berpikir seperti itu. Aku bukan keturunan orang jahat. Marilah kita pulang, hari sudah malam. (keduanya akan berlalu … ditegur oleh orang tua)
Orang Tua : Syukurlah kalian selamat, Nak. Saya minta maaf kepadamu Yanti. Kalau tadi saya mau menemanimu menunggu di sini, mungkin kedua pemuda berandal itu tak akan mengganggumu. Tuhan telah melindungi. Kamu terhindar dari kenistaan. Kejadian tadi tak usah kamu rasakan berlarut-larut. Anggaplah sebagai cobaan dari Yang Maha Kuasa. Orang bijak biasanya diuji dengan berbagai cobaan. Tapi. Semua cobaan itu ada manfaatnya.
Herman : Terima kasih, Mbah. Untung Simbah mengetahui kejadian tadi.
Orang Tua : Kalian harus berhati-hati. Senyampang masih muda, carilah ilmu sesuai bakat dan minatmu masing-masing. Jangan tertipu godaan nafsu dan ajakan setan. Hidup bukan hanya untuk bersenang-senang. Masa depan harus kalian pikirkan sejak sekarang. Ingatlah, belajar dan bekerja pasti mendatangkan buah yang manis dan halal. Pulanglah, orang tua kalian pasti sudah menunggu di rumah. Pulanglah, Nak. (memberi isyarat agar mereka pergi. Mengiringi kepergian mereka dengan pandangan penuh rasa sayang, lalu pergi ke arah lain).

***** S E L E S A I *****


Informasi Selengkapnya Hubungi :
Bapak Lili Ramli, S.Pd.I.
Kontak HP. 081802318894