A. Latar Belakang
Tahun pertama pelaksanaan PJPT II tahun lalu antara lain ditandai dengan diberlakukannya Kurikulum Pendidikan 1994 pada pelbagai jenjang pendidikan. Kajian konsep kurikulum nasional 1994 ini sudah hampir rampung dan tengah digodok-ulang di Badan Pengkajian Pendidikan Nasional (BPPN) untuk kemudian secara bertahap diimplementasikan pada pelbagai jenjang pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah.
Ada beberapa alasan mengapa Kurikulum Nasional 1994 ini diterapkan, khususnya pada lembaga pendidikan dasar pada moment awal bangsa kita melaksanakan PJPT II.
Pertama, lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang kemudian diikuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28, 29 dan 30 tahun 1990 memberikan arah dan rambu-rambu ke mana sistem pendidikan nasional akan dikembangkan. Ciri khas atau perubahan yang sangat mendasar dalam UUSPN ini adalah berubahnya kebijakan pendidikan dasar yang saat ini berlangsung 6 tahun di sekolah dasar (SD), dan mulai awal Pelita VI tahun depan direncanakan menjadi Pendidikan Dasar 9 tahun. Ini berarti perangkat kurikulum nasional pendidikan dasar 9 tahun harus sudah rampung dan siap diimplementasikan sebagai bagian integral dalam menyiapkan sumber daya manusia yang siap untuk dipartisipasikan dalam pembangunan nasional.
Kedua, berdasarkan pelbagai kajian diperoleh suatu kesimpulan bahwa kurikulum yang berlaku selama ini, khususnya pada lembaga pendidikan dasar dinilai “sangat padat”. Terlalu banyak titipan bahan yang pada akhirnya menyulitkan siswa untuk mencerna dan menyerapnya sebagai akumulasi pengalaman belajar yang bermakna (accumulation of meaningful learning experience). Hasil laporan Bank Dunia (1990) misalnya, menyebutkan bahwa di antara negara-negara ASEAN, kurikulum pendidikan dasar di Indonesia paling sarat mata pelajarannya. Namun ironisnya, dari jumlah bahan yang diberikan guru di sekolah, ternyata siswa hanya menyerap sekitar 36 persen dari alokasi yang sepatutnya diperoleh mereka pada jadwal resmi di sekolah. Saat ini, kurikulum pendidikan dasar di tanah air masih berdasarkan kurikulum 1984. Artinya siswa SD sedikitnya harus menguasai 11 jenis mata pelajaran inti dengan alokasi waktu sekitar 171 jam pelajaran. Dan untuk kelas IV sampai dengan kelas VI, mereka masih dituntut untuk mengikuti program pilihan dengan alokasi 12 jam yang meliputi mata pelajaran keterampilan, kesenian, olah raga, dan bahasa daerah. Bahan yang sudah sarat itu, masih ditambah dengan kegiatan ekstrakurikuler ataupun aktivitas kelas dan di luar kelas, termasuk pekerjaan rumah. Ini berarti kurikulum yang ada terlampau sarat, sehingga kemungkinan terjadi daya serap siswa yang sangat rendah, karena terlalu banyak bahan pelajaran yang harus dipelajari.
Ketiga, ujung tombak keberhasilan pembangunan pada PJPT II pada dasarnya tertumpu pada kualitas sumber daya manusia bangsa Indonesia. Oleh sebab itu peningkatan kualitas SDM melalui garapan pendidikan dan pelatihan merupakan sesuatu yang mutlak. Ikhwal kualitas SDM bangsa Indonesia dibanding dengan bangsa-bangsa lain di dunia memang cukup membuat kita prihatin. Badan dunia UNDP (1992) dalam laporannya tentang telaahan indeks sumber daya manusia atau Human Development Indeks (HDI) memposisikan Indonesia pada urutan ke 98 dari 120 negara yang diteliti. HDI bangsa Indonesia yang mencapai 0,491, jauh tertinggal dibanding dengan negara jiran di ASEAN lainnya. Malaysia mencapai 0,748, Singapura 0,848, dan Filipina 0,600. Indeks ini sangat jauh tertinggal terutama bila dibanding dengan USA 0,976, Jepang 0,981, dan Canada 0,982. Data di atas cukup menggambarkan betapa masalah kualitas SDM nasional patut dipompakan melalui garapan pendidikan nasional yang tengah kita laksanakan.
Informasi Selengkapnya Hubungi :
Bapak Lili Ramli, S.Pd.I.
Kontak HP. 081802318894
Tahun pertama pelaksanaan PJPT II tahun lalu antara lain ditandai dengan diberlakukannya Kurikulum Pendidikan 1994 pada pelbagai jenjang pendidikan. Kajian konsep kurikulum nasional 1994 ini sudah hampir rampung dan tengah digodok-ulang di Badan Pengkajian Pendidikan Nasional (BPPN) untuk kemudian secara bertahap diimplementasikan pada pelbagai jenjang pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah.
Ada beberapa alasan mengapa Kurikulum Nasional 1994 ini diterapkan, khususnya pada lembaga pendidikan dasar pada moment awal bangsa kita melaksanakan PJPT II.
Pertama, lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang kemudian diikuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28, 29 dan 30 tahun 1990 memberikan arah dan rambu-rambu ke mana sistem pendidikan nasional akan dikembangkan. Ciri khas atau perubahan yang sangat mendasar dalam UUSPN ini adalah berubahnya kebijakan pendidikan dasar yang saat ini berlangsung 6 tahun di sekolah dasar (SD), dan mulai awal Pelita VI tahun depan direncanakan menjadi Pendidikan Dasar 9 tahun. Ini berarti perangkat kurikulum nasional pendidikan dasar 9 tahun harus sudah rampung dan siap diimplementasikan sebagai bagian integral dalam menyiapkan sumber daya manusia yang siap untuk dipartisipasikan dalam pembangunan nasional.
Kedua, berdasarkan pelbagai kajian diperoleh suatu kesimpulan bahwa kurikulum yang berlaku selama ini, khususnya pada lembaga pendidikan dasar dinilai “sangat padat”. Terlalu banyak titipan bahan yang pada akhirnya menyulitkan siswa untuk mencerna dan menyerapnya sebagai akumulasi pengalaman belajar yang bermakna (accumulation of meaningful learning experience). Hasil laporan Bank Dunia (1990) misalnya, menyebutkan bahwa di antara negara-negara ASEAN, kurikulum pendidikan dasar di Indonesia paling sarat mata pelajarannya. Namun ironisnya, dari jumlah bahan yang diberikan guru di sekolah, ternyata siswa hanya menyerap sekitar 36 persen dari alokasi yang sepatutnya diperoleh mereka pada jadwal resmi di sekolah. Saat ini, kurikulum pendidikan dasar di tanah air masih berdasarkan kurikulum 1984. Artinya siswa SD sedikitnya harus menguasai 11 jenis mata pelajaran inti dengan alokasi waktu sekitar 171 jam pelajaran. Dan untuk kelas IV sampai dengan kelas VI, mereka masih dituntut untuk mengikuti program pilihan dengan alokasi 12 jam yang meliputi mata pelajaran keterampilan, kesenian, olah raga, dan bahasa daerah. Bahan yang sudah sarat itu, masih ditambah dengan kegiatan ekstrakurikuler ataupun aktivitas kelas dan di luar kelas, termasuk pekerjaan rumah. Ini berarti kurikulum yang ada terlampau sarat, sehingga kemungkinan terjadi daya serap siswa yang sangat rendah, karena terlalu banyak bahan pelajaran yang harus dipelajari.
Ketiga, ujung tombak keberhasilan pembangunan pada PJPT II pada dasarnya tertumpu pada kualitas sumber daya manusia bangsa Indonesia. Oleh sebab itu peningkatan kualitas SDM melalui garapan pendidikan dan pelatihan merupakan sesuatu yang mutlak. Ikhwal kualitas SDM bangsa Indonesia dibanding dengan bangsa-bangsa lain di dunia memang cukup membuat kita prihatin. Badan dunia UNDP (1992) dalam laporannya tentang telaahan indeks sumber daya manusia atau Human Development Indeks (HDI) memposisikan Indonesia pada urutan ke 98 dari 120 negara yang diteliti. HDI bangsa Indonesia yang mencapai 0,491, jauh tertinggal dibanding dengan negara jiran di ASEAN lainnya. Malaysia mencapai 0,748, Singapura 0,848, dan Filipina 0,600. Indeks ini sangat jauh tertinggal terutama bila dibanding dengan USA 0,976, Jepang 0,981, dan Canada 0,982. Data di atas cukup menggambarkan betapa masalah kualitas SDM nasional patut dipompakan melalui garapan pendidikan nasional yang tengah kita laksanakan.
Informasi Selengkapnya Hubungi :
Bapak Lili Ramli, S.Pd.I.
Kontak HP. 081802318894